Tulisan saya ini harusnya
diposting saat hangat-hangatnya moment lebaran. Tetapi lebih baik terlambat
daripada tidak sama sekali kan? Buat saya pribadi persoalan tentang
maaf-memaafkan tidak hanya saat lebaran saja. Meski dengan moment lebaran
adalah waktu kondusif untuk maaf dan memaafkan. Jika ego di hari biasa sangat tinggi
atau karena kesibukan lantas terlupa untuk saling maaf dan memaafkan, maka hari
lebaran mengingatkan kita untuk melakukannya.
Meski tradisi halal bi halal
tidak secara langsung merupakan tradisi Islam yang diwariskan pada zaman Nabi
Muhammad, namun tradisi ini memiliki manfaat positif. Hal yang baik dan
memberikan maslahat tentu saja harus terus dipertahankan. Terlebih di Al Qur’an
sendiri juga memerintahkan umat Islam untuk menjadi pribadi pemaaf, sebagaimana
firman Allah : “Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim (Q.S Asy Syuraa 40). Kendati membalas kejahatan dengan setimpal adalah hal yang wajar,
namun memaafkan adalah lebih baik.
Tentang manfaat maaf-memaafkan
sendiri sudah sering kita dengar tentunya, terutama dalam hubungan sosial. Hal ini
akan mempererat silaturahmi dan mendamaikan yang sedang berselisih sehingga
terciptalah ukhuwah islamiyah. Melupakan masa lalu dan menyambut hari baru. Seperti
istilah yang sering kita dengar, “Mulai dari nol lagi ya”. Itu artinya, segala
masalah di masa lalu tidak lagi dipersoalkan.
Saya pribadi punya pemaknaan
lebih besar pada proses maaf-memaafkan ini. Proses ini dapat menjadi pelatihan dalam
peningkatan kualitas kepribadian kita. Jika kita sedang berselisih atau
terlibat masalah dengan orang lain, tentu kita akan mencari siapa yang harusnya
bertanggungjawab. Jika kita merasa berada di posisi benar, jangankan untuk mengalah
atau meminta maaf, mau memaafkan
kesalahan saja kita akan berpikir berulang kali. Rasanya tidak cukup kata maaf untuk
membayar semua kesalahan terhadap kita. Kata maaf itu terlalu simple untuk
menebus kesalahan. Maaf itu terlalu mahal untuk diberikan.
Tidak berbeda dengan yang berada
di posisi bersalah. Rasa malu selalu datang ketika melakukan suatu kesalahan. Apalagi
jika kesalahan itu cukup besar dan diketahui banyak orang. Jika kita punya
status sosial tinggi, memulai untuk minta maaf akan menjadi beban yang semakin
berat. Meminta maaf seolah akan mengakhiri dunia dan menjatuhkan harga dirinya.
Dalam kacamata hitam putih, kita
tentu akan berpegang pada yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Ketika
dibawa dalam konteks maaf dan memaafkan, maka yang salah yang harus minta maaf
pada benar. Bahkan ada juga yang memandang bahwa ada kesalahan yang sampai
kapanpun tidak akan termaafkan. Memang benar, ada kesalahan-kesalahan yang sulit
kiranya untuk dimaafkan tetapi apakah memang benar tak termaafkan? Untuk apa
kiranya perseteruan itu perlu dipertahankan? Tidakkah keseimbangan sistem
sosial harus diutamakan?
Saya pernah melihat cuplikan
video yang di dalamnya terdapat sepenggal permintaan maaf Gus Mus dalam
Muktamar NU ke 33 di Jombang yang sempat berjalan ricuh. Beliau menyampaikan, “Saya
dengan kerendahan hati mohon maaf, mohon keikhlasan Anda sekalian. Maafkanlah
mereka maafkanlah Saya. Kesalahan itu kesalahan Saya.. kesalahan Saya sebagai
penanggungjawab maka saya yang meminta maaf kepada anda sekalian. Mudah-mudahan
Anda merelakan hati untuk memaafkan Saya…. Maafkanlah, lupakanlah itu. ingatlah
bahwa Nahdlatul Ulama jauh lebih besar dari persoalan tetek bengek itu” Saya
jadi bertanya-tanya, kenapa Gus Mus sampai meminta maaf seperti itu, hingga
beliau menangis? Bukankah seharusnya mereka yang gaduh harus meminta maaf?
Mereka yang mengabaikan aturan dan tidak mendengarkan kebijakan Gus Mus sebagai
pimpinanlah yang menurut saya bersalah.
Dari situ saya belajar ternyata
terkadang maaf itu bukan sekedar soal siapa yang benar dan salah. Tetapi lebih
jauh dari itu, maaf adalah tentang kebesaran hati dan kebijaksanaan. Maaf bukan
sekedar tentang pertahanan ego, tetapi justru menundukkan kesombongan dalam
diri. Di kondisi tertentu, maaf bisa menjadi awal dalam membangun ruang
kondusif dalam mengembalikan situasi ke titik seimbang.
Ketika orang lain meminta maaf
pada kita, mungkin kita merasa menjadi orang yang menang dan benar. Padahal
jika kita yang justru mengawali meminta maaf, ada kemuliaan akhlak yang kita
lakukan. Terlepas apakah kita yang seharusnya benar atau salah. Sesungguhnya
kita sudah menang melawan ego, kesombongan dan hawa nafsu di dalam diri kita
sendiri. Kita mungkin menjadi seolah kalah di hadapan orang lain, tetapi kita
mampu melatih kepribadian dan kekuatan batin. Jika ada persoalan yang datang di
kemudian hari, kita tidak mudah tersulut emosi, tidak mudah terbakar amarah dan
menyimpan bara dendam. Kita lebih terbiasa mengoreksi ke dalam sebelum keluar.
Kita akan waspada terhadap kekhilafan dan segera berbenah jika salah.
Memahami hal di atas, sangat
disayangkan jika maaf hanya sekedar kata terucap tanpa makna dan rasa. Padahal
terdapat suatu proses pelatihan mental, kelapangan hati dan kebijaksanaan dalam
di dalamnya. Jika kemarin kita sudah mengucapkannya berulang kali di hari
lebaran, apakah benar merupakan maaf sepenuh hati atau masih menyimpan amarah
dan dendam?
Tanpa perlu merinci siapa yang
salah dan saling menunggu permintaan maaf, mari memulai mengucap maaf. Mari
berbesar hati untuk meminta maaf kepada orang yang meskipun mereka pernah
menyakiti kita, jangan-jangan itu karena kita yang lebih dulu menyakiti mereka.
#Islam Indah dalam ukhuwah