Social Icons

Pages

Featured Posts

Thursday, July 28, 2016

Tak Perlu Menunggu Maaf



Tulisan saya ini harusnya diposting saat hangat-hangatnya moment lebaran. Tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan? Buat saya pribadi persoalan tentang maaf-memaafkan tidak hanya saat lebaran saja. Meski dengan moment lebaran adalah waktu kondusif untuk maaf dan memaafkan. Jika ego di hari biasa sangat tinggi atau karena kesibukan lantas terlupa untuk saling maaf dan memaafkan, maka hari lebaran mengingatkan kita untuk melakukannya.
Meski tradisi halal bi halal tidak secara langsung merupakan tradisi Islam yang diwariskan pada zaman Nabi Muhammad, namun tradisi ini memiliki manfaat positif. Hal yang baik dan memberikan maslahat tentu saja harus terus dipertahankan. Terlebih di Al Qur’an sendiri juga memerintahkan umat Islam untuk menjadi pribadi pemaaf, sebagaimana firman Allah : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim (Q.S Asy Syuraa 40). Kendati membalas kejahatan dengan setimpal adalah hal yang wajar, namun memaafkan adalah lebih baik.
Tentang manfaat maaf-memaafkan sendiri sudah sering kita dengar tentunya, terutama dalam hubungan sosial. Hal ini akan mempererat silaturahmi dan mendamaikan yang sedang berselisih sehingga terciptalah ukhuwah islamiyah. Melupakan masa lalu dan menyambut hari baru. Seperti istilah yang sering kita dengar, “Mulai dari nol lagi ya”. Itu artinya, segala masalah di masa lalu tidak lagi dipersoalkan.
Saya pribadi punya pemaknaan lebih besar pada proses maaf-memaafkan ini. Proses ini dapat menjadi pelatihan dalam peningkatan kualitas kepribadian kita. Jika kita sedang berselisih atau terlibat masalah dengan orang lain, tentu kita akan mencari siapa yang harusnya bertanggungjawab. Jika kita merasa berada di posisi benar, jangankan untuk mengalah atau meminta  maaf, mau memaafkan kesalahan saja kita akan berpikir berulang kali. Rasanya tidak cukup kata maaf untuk membayar semua kesalahan terhadap kita. Kata maaf itu terlalu simple untuk menebus kesalahan. Maaf itu terlalu mahal untuk diberikan.
Tidak berbeda dengan yang berada di posisi bersalah. Rasa malu selalu datang ketika melakukan suatu kesalahan. Apalagi jika kesalahan itu cukup besar dan diketahui banyak orang. Jika kita punya status sosial tinggi, memulai untuk minta maaf akan menjadi beban yang semakin berat. Meminta maaf seolah akan mengakhiri dunia dan menjatuhkan harga dirinya.
Dalam kacamata hitam putih, kita tentu akan berpegang pada yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Ketika dibawa dalam konteks maaf dan memaafkan, maka yang salah yang harus minta maaf pada benar. Bahkan ada juga yang memandang bahwa ada kesalahan yang sampai kapanpun tidak akan termaafkan. Memang benar, ada kesalahan-kesalahan yang sulit kiranya untuk dimaafkan tetapi apakah memang benar tak termaafkan? Untuk apa kiranya perseteruan itu perlu dipertahankan? Tidakkah keseimbangan sistem sosial harus diutamakan?
Saya pernah melihat cuplikan video yang di dalamnya terdapat sepenggal permintaan maaf Gus Mus dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang yang sempat berjalan ricuh. Beliau menyampaikan, “Saya dengan kerendahan hati mohon maaf, mohon keikhlasan Anda sekalian. Maafkanlah mereka maafkanlah Saya. Kesalahan itu kesalahan Saya.. kesalahan Saya sebagai penanggungjawab maka saya yang meminta maaf kepada anda sekalian. Mudah-mudahan Anda merelakan hati untuk memaafkan Saya…. Maafkanlah, lupakanlah itu. ingatlah bahwa Nahdlatul Ulama jauh lebih besar dari persoalan tetek bengek itu” Saya jadi bertanya-tanya, kenapa Gus Mus sampai meminta maaf seperti itu, hingga beliau menangis? Bukankah seharusnya mereka yang gaduh harus meminta maaf? Mereka yang mengabaikan aturan dan tidak mendengarkan kebijakan Gus Mus sebagai pimpinanlah yang menurut saya bersalah.
Dari situ saya belajar ternyata terkadang maaf itu bukan sekedar soal siapa yang benar dan salah. Tetapi lebih jauh dari itu, maaf adalah tentang kebesaran hati dan kebijaksanaan. Maaf bukan sekedar tentang pertahanan ego, tetapi justru menundukkan kesombongan dalam diri. Di kondisi tertentu, maaf bisa menjadi awal dalam membangun ruang kondusif dalam mengembalikan situasi ke titik seimbang.
Ketika orang lain meminta maaf pada kita, mungkin kita merasa menjadi orang yang menang dan benar. Padahal jika kita yang justru mengawali meminta maaf, ada kemuliaan akhlak yang kita lakukan. Terlepas apakah kita yang seharusnya benar atau salah. Sesungguhnya kita sudah menang melawan ego, kesombongan dan hawa nafsu di dalam diri kita sendiri. Kita mungkin menjadi seolah kalah di hadapan orang lain, tetapi kita mampu melatih kepribadian dan kekuatan batin. Jika ada persoalan yang datang di kemudian hari, kita tidak mudah tersulut emosi, tidak mudah terbakar amarah dan menyimpan bara dendam. Kita lebih terbiasa mengoreksi ke dalam sebelum keluar. Kita akan waspada terhadap kekhilafan dan segera berbenah jika salah.
Memahami hal di atas, sangat disayangkan jika maaf hanya sekedar kata terucap tanpa makna dan rasa. Padahal terdapat suatu proses pelatihan mental, kelapangan hati dan kebijaksanaan dalam di dalamnya. Jika kemarin kita sudah mengucapkannya berulang kali di hari lebaran, apakah benar merupakan maaf sepenuh hati atau masih menyimpan amarah dan dendam?
Tanpa perlu merinci siapa yang salah dan saling menunggu permintaan maaf, mari memulai mengucap maaf. Mari berbesar hati untuk meminta maaf kepada orang yang meskipun mereka pernah menyakiti kita, jangan-jangan itu karena kita yang lebih dulu menyakiti mereka. 

#Islam Indah dalam ukhuwah

Thursday, June 23, 2016

Batas Manusia yang Sering Terlupa



Manusia merupakan makhluk yang lebih tinggi dibanding makhluk ciptaan Allah yang lain. Saat diciptakannya Adam, semua makhluk disuruh sujud padanya oleh Allah. Karena pada makhluk yang satu ini diberikannya ilmu pengetahuan dan berbagai kelebihan dibandingkan yang lainnya. Manusia memiliki akal, rasa, kehendak, hawa nafsu dan segala perangkat di dalam dirinya. Ia bisa menalar, belajar, berkembang, membuat sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk lain. Untuk itulah dibebankan amanah kepadanya untuk menjadi khalifah di bumi ini.
Namun di balik kelebihan tersebut, manusia tetaplah manusia. Ia bisa benar namun juga salah. Ia bisa menghasilkan sesuatu yang benar tetapi tidaklah benar-benar sempurna. Ia bisa menalar sedemikian jauh, tetapi tetap tidak dapat menembus yang gaib dan tersembunyi di dalam hati. Secerdas apapun seorang manusia, masih saja dapat salah. Sebaik apapaun manusia, ada saja khilafnya.
Sering-sering kita mengingat hal ini agar kita tidak menjadi manusia yang melampaui batas. Kita tentu pernah melakukan analisa dan penilaian bahkan selalu. Dalam melihat dan merespon sesuatu, kita akan melakukan proses tersebut, lupanya kita akan kemungkinan kita bisa salah akan membawa kita pada jebakan hawa nafsu. Saat kita menganggap apa yang kita pahami adalah final dan paling benar, saat kita mulai meremehkan orang lain, menyalahkan tanpa mau mendengar, atau mendengar tapi sudah tak mau memahami, saat itulah pintu kebenaran tertutup.
Terlebih dalam persoalan hati. Dunia sekitar kita kadang sangat mudah menjustifikasi. Kadang bahkan sampai saling mengkafirkan, memunafikkan dan menstatusi pendosa. Padahal Allah sendiri selalu membuka lebar pintu taubat bagi yang bersungguh-sungguh. Kita bisa melihat seseorang beramal puluhan atau ratusan juta. Tetapi dapatkah kita mengetahui apa yang ada di dalam hatinya? Apa tujuannya? Ia bisa bermain peran sangat cantik, tetapi sungguhkah kita bisa menerka yang ada di dalam hatinya? Kita hanya bisa menerka, menganalisa bisa saja benar, tetapi bisa saja salah. Saya jadi berpikir adanya sistem peradilan hukum yang begitu kompleks dengan adanya hakim, juri, pengacara, jaksa, saksi, ahli, dsb adalah suatu bentuk sistem yang sangat berhati-hati dalam menetapkan status dan hukuman bagi seseorang. Jika memutuskan yang salah, tentu itu akan merugikan bahkan menghancurkan seseorang. Tentu saja itu bisa jadi suatu kedzaliman. Dan kenyataannya banyak sekali terjadi salah tangkap atau korban kriminalisasi.
Apalagi kita yang dalam kehidupan sehari-hari tanpa melalui proses yang sedemikian kompleks seperti itu. Satu orang bicara, sangat mudah diikuti oleh yang lain. Kadang kita sendiri yang menilai dengan data dan analisa yang terbatas, tetapi kemudian kita jadikan kebenaran absolut. Kita sebarkan suatu kesimpulan yang butuh dievaluasi ulang. Kita tak sadar, dugaan sudah kita jadikan kesimpulan. Realitas kita baca dengan frame tertentu. Kecondongan atau prasangka kita jadikan pijakan dalam analisa. Lalu kita klaim sebagai hal benar dan paling benar. Saat ada yang menyanggah dan memberikan pandangan lain segera kita abaikan bahkan kita hujat. Yah, kita jadi lupa sehingga kadang mengambil peran Tuhan sebagai yang Maha benar dan Maha tahu.
Tentu jangan sampai kita takut menyampaikan hal yang benar, tetapi alangkah baiknya jika kita tetap tahu batas. Apakah kita sudah benar-benar berproses dengan baik untuk membedah suatu realitas, menganalisa dengan teliti dan metode yang ketat untuk suatu kesimpulan? Atau kita sekedar ikut, “katanya” atau “dengar-dengar begitu”. Bukankah kelak semua akan dimintai pertanggungjawaban. Marilah kita tahu batas kita dan senantiasa berhati-hati agar tak salah meyalahkan orang lain apalagi membuat orang lain saling tuding dan tuduh.

Wednesday, June 22, 2016

Merindukan Islam yang Satu

foto: http://atoenx.blogspot.co.id
 
Saya merasa gelisah beberapa waktu ini. Tantangan umat islam hari ini bukan saja dihadapkan pada pengaruh eksternal yang menguji iman. Tidak hanya sekedar tentang bagaimana saat umat Islam puasa, ada non muslim yang tidak puasa. Tentang bagaimana jika kita punya tetangga non muslim yang sedang merayakan hari besarnya. Tentang bagaimana skema kerjasama yang harus dibangun oleh muslim dengan non muslim agar tidak membawa pada perselisihan tetapi juga tetap menjaga akidah. Bukan cuma itu. Tantangan hari ini justru saya rasakan semakin besar ada pada sesama muslim sendiri.
“Sesama muslim bersaudara”, agaknya mulai jadi jargon semata. Ada hadits yang menyebutkan: “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian Rasulullah menggenggam jari-jemarinya.” (Bukhari & Muslim). Di dalam surat Al Hujurat ayat 10 juga disebutkan, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Bukankah dari sini ditunjukkan ada ikatan yang sangat dekat antara saudara muslim, meski tidak punya ikatan darah, tidak terikat geografis. Saya belum pernah naik haji ataupun umrah, tetapi sungguh bergetar hati dan penuh haru saat melihat begitu banyak umat muslim dalam masjidil haram berjalan mengelilingi ka’bah, berputar pada orbit yang sama. Mereka sholat dan sujud pada Allah yang ahad, menghadap satu kiblat. Siapa mereka dan dari mana tak lagi bisa dibedakan. Tak ada perbedaan apakah pejabat atau rakyat, apakah dari timur atau barat, punya gelar akademis atau tidak, dan dari organisasi islam apa. Semua berbalut kain sederhana tanpa perhiasan dunia dengan satu kiblat yang sama.
Sungguh saya rindu pada Islam ketika Nabi besar Muhammad memimpin umat. Setiap kali membaca sejarah islam di masa nabi, ada rasa haru dan rindu yang berkecamuk. Mungkin ada yang berpendapat bahwa kesuksesan beliau menyebarkan islam karena strategi politik dan diplomasi yang handal. Tetapi menurut saya, kebesaran Nabi Muhammad jauh melampaui sekedar strategi saja. Nabi Muhammad memiliki keagungan akhlak yang menyatu dalam seluruh kehidupan beliau. Keagungan itu bahkan membuat musuh beliau menjadi hormat dan kemudian tunduk. Bukan sekedar karena Nabi mengangkat pedangnya, tapi kebijaksanaan dan keluhuran budi beliau.
Dalam sebuah riwayat pernah diceritakan bahwa Rasulullah sangat marah ketika Usamah membunuh seorang bekas pasukan musuh padahal orang tersebut sudah bersyahadat. Nabi marah besar mendengar cerita Usamah dan berkata, “Apakah engkau membunuh orang yang telah mengatakan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?. Nabi juga berkata, “Apakah kamu sudah membelah hatinya (sehingga kamu tahu kalau dia berbohong)? (HR. Bukhari dan Muslim). Sebegitu hati-hatinya Nabi dalam menghakimi dan menghukumi keimanan seseorang. Ada juga riwayat lain tentang Nabi Muhammad yang memberi makan seorang yahudi buta tiap hari padahal orang itu selalu menghina Nabi Muhammad. Namun Nabi tidak marah sedikitpun dan terus memberinya makan.
Saat ini, kita begitu mudah mendidih bila ada yang berseberangan pandangan, apalagi jika ada yang mencela kita. Seolah harga diri kita hancur, nama baik kita tercemar kemudian mengobarkan maklumat perang. Menyalakan permusuhan semudah menyalakan korek api. Tidak jarang hal itu terjadi pada sesama umat Islam. Ah, siapa kita sebenarnya, yang tidak pernah bisa melampaui kebesaran Nabi, yang tidak lebih mulia dari para sahabat Nabi. Namun kadang melampaui batas kemanusiaan dan berhasrat menjadi Tuhan secara tak sadar. Kita yang baru belajar menafsirkan perilaku nabi, baru belajar meneladani Nabi menasbihkan diri sebagai manifestasi terbaik dari pemikiran dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Padahal bisa jadi meneladani satu saja sifatnya saja kita tidak sempurna.
Di era global ini, kita berada di masa masyarakat berkembang sangat jamak. Islam sendiri menjadi banyak aliran. Satu aliran memiliki banyak organisasi. Ada organisasi yang bergerak sama dalam satu  bidang/sektor, ada yang berbeda bidang/sektor. Setiap organisasi memiliki pemimpin dan jamaah yang berimplikasi pada perbedaan pemikiran, kultur dan aturan. Di antara mereka ada yang sama di basic tauhid, tapi beda di fiqh. Perbedaan fiqh itu ada yang sebagian besar berbeda, tetapi ada yang hanya berbeda di beberapa aspek teknis saja. Ada juga yang berbeda di metode berpolitik dan kepemimpinan, dsb. Perbedaan itu sering menjelma menjadi permusuhan bahkan berujung saling tafkir.
Saya jadi banyak bertanya, sebenarnya yang disebut Rabbul’alamin dan Islam Rahmatan lil’alamin dalam pandangan mereka yang seperti apa? Saat bicara tentang Tuhan semesta alam, seakan hanya segolongan yang sempurna menafsirkan ajaran Tuhan. Saat kita bicara ingin Islam menjadi rahmat semesta alam, agaknya masih perlu pertanyaan lanjutan, “Islam yang mana yang menjadi rahmat?”. Apakah hanya islam segolongan orang saja, islam menurut jamaah tertentu saja atau islam yang mana? Islam yang tauhid, yang berpegang pada Qur’an dan sunnah. Lalu  masih ada pertanyaan lagi, Qur’an dan sunnah dari tafsir siapa? Jadi, Islam yang mana yang rahmat itu?
Bukan berarti akhirnya semua yang mengaku Islam itu senantiasa benar ajarannya. Tentu ada diantaranya yang hanya ngaku-ngaku Islam dan keluar batas dari ajaran Islam itu sendiri. Maka tentu ada standar minimal orang ataupun golongan yang berislam. Dan yang harus selalu kita ingat, bahwa seberapapun salahnya seseorang ataupun golongan dalam menerapkan hukum Islamnya, yang merasa dirinya umat Islam sejatipun tidak boleh dzalim pada yang selainnya. Dzalim itu tentunya yang berlebihan atau melampaui batas.  
Menurut pendapat saya, berfokus pada bagaimana bijaksana dalam menyikapi perbedaan itu jauh lebih penting daripada perbedaan itu sendiri. Perbedaan pendapat sejak jaman nabi dan para sahabat sudah alamiah terjadi. Perbedaan itu kadang sangat keras dengan perdebatan yang panas antar sahabat. Tapi kita sering lupa bagaimana perbedaan itu disikapi dan tetap berujung pada persatuan islam. Kita sering hanya melihat kerasnya perbedaan itu, apalagi setelah peristiwa tahkim. Kita menjadi terfokus pada perbedaan pandangan dan aliran antara khawarij, pendukung Ali dan pendukung Mu’awiyah. Di masa selanjutnya, perbedaan itu malah semakin banyak dan membagi-bagi umat islam dalam ahlul hadits dan ahlul ra’yi, Qadariyah dan jabariyah, tradisional dan moderat, ritual dan sosial, Jamaah A dan jamaah B. Semakin hari kita berfokus pada detil tiap perbedaan, bukan pada apa yang masih sama. Berlomba-lomba dalam kebaikan yang kita terapkan dalam agama menjadi seperti ajang kompetisi antar perusahaan. Mengunggulkan brandnya sendiri, mencela produk kompetitornya bahkan mematikan usaha lawannya.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiyaa’ 107). Ada sebuah riwayat menceritakan ketika sebagian sahabat memohon pada beliau agar mendoakan dan mengutuk orang musyrik dan kafir, Nabi menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat (bagi semua manusia).” (HR. Muslim). Saya sangat kagum dengan para ulama dan organisasi yang senantiasa menyerukan persatuan umat islam. Jangankan mengstatusi orang lain kafir, mengatakan dirinya muslim sejati saja tidak mau. Karena hanya Allah yang paling tahu apa yang ada di dalam hati.
Saya sungguh rindu Islam yang satu. Tentu bukan berarti meniadakan perbedaan. Tidak mungkin kita berharap Islam seperti masa Nabi Muhammad di mana hanya ada satu organisasi dan pemimpin tunggal. Bagi saya tak ada yang bisa menandingi kebesaran kepemimpinan Nabi dan penyatuan umat pada masa beliau. Terlebih saat ini kita hidup di masa yang berbeda, masyarakat dunia telah berkembang sedemikian rupa. Ada tatanan sistem dan masalah yang tak sama. Namun, Islam yang satu itu berarti persatuan yang bisa berkompromi dengan perbedaan. Tidak saling memerangi, tetapi saling berdialog dan mencari solusi. Bukan mencari siapa yang paling benar, tetapi bagaimana bisa berkolaborasi dan bersinergi dalam kebaikan sesuai dengan bidangnya. Bukan yang saling mencari kelemahan, tetapi saling melengkapi dan menguatkan.
                Terlalu utopiskah rindu saya ini?

Saturday, June 18, 2016

Bangun Pondasi iman dengan Ilmu



Saya bersyukur, hidup di lingkungan yang cukup baik dengan teman-teman yang beragam karakter, pemikiran dan sudut pandang. Perbedaan tesebut membuat saya belajar, setiap orang memiliki perangkat dalam melihat suatu permasalahan. Satu syukur yang lebih lagi adalah saya memiliki sahabat-sahabat yang bersama mereka saya bertukar pikiran dan mendapat nasehat-nasehat yang baik. Apa yang saya lakukan sekarang, juga buah dari nasehat seorang sahabat yang mulanya justru saya kira adalah seseorang yang aneh dan hanya banyak omong. Sahabat saya ini menasehati saya untuk menuangkan pemikiran dan semua gagasan apapun itu dalam bentuk tulisan. Dan benar adanya, bahwa apa yang kita hasilkan dalam ranah praktis akan berlalu, berubah bahkan hilang, sedangkan pemikiran dapat terus menerus diturunkan, diteruskan dan disempurnakan. Melalui penalah, keinginan tersebut dapat diwujudkan. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer:
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Kita memiliki pemahaman bahwa tidak baik jika iman hanya sekedar iman. Meski yang beriman terhadap Allah tanpa pengetahuan yang cukup adalah lebih baik daripada yang tidak beriman. Namun, selemah-lemahnya iman adalah iman yang tanpa ilmu. Maka semakin kita berilmu akan semakin besar pulalah iman kita. Mereka para pejuang yang senantiasa berada di jalan lurus, yang memegang teguh kebenaran dan waspada untuk tidak tergelincir dalam jalan sesat dan bisikan setan adalah mereka yang benar-benar memiliki ilmu atas apa yang dihadapinya. Maka tiap-tiap hal haruslah selalu digali sunnatullah dan ilmunya. Bahkan yang sudah menjadi kebiasaan dan anggapan dasar banyak orang pun, harus kita imani secara sadar dan dengan ilmu di dalamnya.
Kita sudah memilih Islam sebagai agama yang benar. Kita percaya bahwa Islam adalah agama yang memberi rahmat dan keselamatan. Bagaimana kita bisa percaya, sementara kita tidak menggali setiap kata dalam wahyu-Nya. Kita tidak membaca sejarah perjuangan para teladan agama kita tentang apa yang mereka perjuangkan, bagaimana mereka berjuang dan mengamaliahkan setiap ajaran Islam. Meski kita tidak menempuh karir sebagai pendakwah atau ahli agama, tafsir dan fiqh, namun bukankah Islam adalah jalan hidup? maka siapa yang menganut Islam, mendasarkan seluruh hidupnya dengan nilai Islam. Tidak satupun bagian dari hidupnya yang berjalan tanpa asas Islam, dan tidak pula satu saja bagian dari islam tidak hadir dalam hidupnya.
Tapi memang yang demikian itu sungguh sulit. Sulit karena waktu yang terasa sedemikian sempit dengan target-target pekerjaan dan persoalan kehidupan dunia. Sulit juga karena hawa nafsu yang dimiliki manusia, terlebih ketika lemahnya pengendalian terhadap hawa nafsu sudah menjadi moral. Di sini butuh dorongan yang kuat, usaha yang keras, dan ketahanan. Kita harus bersabar, benar-benar bersabar dalam proses yang penuh dengan tantangan.
Bagaimanapun sulitnya, manusia adalah makhluk berakal. Kendati sebagian orang beranggapan bahwa iman saja sudah mampu menjawab dan mengantarkan pada keselamatan atau ada pula yang berpandangan agar tidak perlu manusia itu terlalu banyak mempertanyakan segala hal. Kenyataannya mereka tidak bisa mengendalikan sunnatullah kediriannya, yang diliputi pertanyaan, yang mencari puncak kebahagiaannya. Dalam mengejar kebahagiaan-kebahagiaan itu mereka akan sampai pada pertanyaan yang sama meski pada waktu yang berbeda, “Apa itu hidup? ke mana ujung dari kehidupan? Bagaimana cara hidup?”
Dalam hal keberagamaan, suatu ketika akan ada di mana muncul pertanyaan seputar pertolongan Allah, ujian Allah, ampunan Allah, dan sebagianya. Ketika manusia berada di sebuah titik masalah yang rumit, di situlah pertanyaan-pertanyaan mendasar mulai muncul. Keimanan yang dibangun seperti apapun pada suatu titik dapat goyah bahkan hancur tanpa didasari ilmu yang benar. Namun ilmu jangan dibayangkan hanya didapat dari bacaan atau buku-buku. Ilmu itu ada dalam kenyataan yang kita temui sehari-hari. Saat kita melihat apa yang ada di rumah, di masyarakat, di langit, di jalan, di manapun ada ilmu yang bisa kita gali. Dari setiap benda dan peristiwa memberikan kita pelajaran yang nyata. Sempatkanlah berpikir dan merenung pada waktu-waktu tertentu agar yang kita lakukan tidak hanya sekedar rutinitas dan ilmu tidak hanya sekedar lewat. Jadilah manusia berilmu, insya Allah akan bertambah iman kita. Jika semakin berilmu, iman kita semakin berkurang, semakin menjadi orang yang sombong maka tentu ada yang salah. Kesalahan itu bisa jadi bukan terletak dari ilmu yang kita pelajari, tetapi dari bagaimana kita mempelajarinya.  
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” Al Baqarah 164.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates